1.1 Latar Belakang
Penataan kawasan hutan Kota Kaombona di kelurahan Tondo
Kecamatan Mantikulore terus digenjot pemerintah Kota Palu,pembangunan berbagai
sarana dan prasarana pendukung di kawasan tersebut mulai dirampungkan proses
pekerjaannya. Master Plan penataan kawasan Hutan Kota Kaombona sudah dirancang
sedemikian rupa agar menjadi kawasan ekowisata dan ruang terbuka hijau
,universitas Institut Tehnologi Bandung (ITB) mendapat kepercayaan dalam melakukan
perencanaan penataan hutan kota Kaombona.
Pasca Bencana,keberadaan Hutan Kota Kaombona diharapkan
dapat menjadi salah satu tempat masyarakat terdampak bencana untuk bisa bangkit
kembali perekonomiannya,untuk itulah dilokasi seluas 98,6 hektar ini turut
dibangun kawasan kuliner dan gerai untuk usaha kecil menengah (UKM) terkhusus
masyarakat yang terdampak bencana. Pemerintah membangun lapak lapak usaha kecil
sebagai pengganti lapak lapak masyarakat yang hancur terkena Tsunami bulan
september 2018 silam,harapannya agar ekonomi masyarakat dapat segera bangkit.
Secara Topografi,lokasi Kawasan hutan kota di bersebelahan
dengan salah satu kampus swasta di kota Palu ini dapat melihat destinasi kota
palu secara 360 derajat,sehingga sangat potensial menjadi tujuan wisata terbaru
di kota palu.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan dimana
masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki
situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi
apabila masyarakat itu sendiri ikut berpartisipasi. Disisi lain, salah kata
kunci pada saat ini sering didengungan oleh semua lapisan masyarakat adalah
kata peningkatan sumber daya manusia. Kata tersebut mempunyai makna lebih
spesifik lagi menyangkut bagaimana mengangkat kondisi masyarakat yang ada
menjadi lebih baik dimasa mendatang. Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti
meningkatnya kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan
individu tetapi juga pranata-pranata sosialnya. Faktor yang harus dilaksanakan
dalam melaksanakan kebijakan pemberdayaan masyarakat adalah, pertama melakukan
identifikasi kebutuhn masyarakat melalui pengkajian dan pengembangan dengan
tetap dan menjunjung tinggi pendekatan operasional pembangunan Hutan Kota
Kaombona. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk mentrasformasikan pertumbuhan
masyarakat sebagai kekuatan nyata masyarakat, untuk melindungi dan memperjuangkan
nilai-nilai dan kepentingan didalam arena segenap aspek kehidupan.
Pemerintah kota palu merelokasi puluhan pelaku usaha mikro
kesil dan menengah (UMKM) terdampak tsunami dikawasan pantai teluk palu
kekawasan Hutan Kota Kaombona. Pemindahan tersebut secara resmi oleh Wali Kota
Hidayat melalui surat keputusan (SK) tentang pemanfaatan sementara zona seni
budaya UMKM di Hutan Kota Kaombona Palu yang diserahkan kepada perwakilan
kantor Kecamatan Mantikulore Kelurahan Talise dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
(LPM) di Kelurahan Talise. Pemerintah mengharapkan agar Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM) Kelurahan talise dapat mengelolah dengan baik para pedagang
UMKM yang berjualan di seni budaya UMKM hutan kota Palu. Pemindahan para
pelaku UMKM di jutaan kota merupakan upaya pemerintah kota
palu untuk memulihkan perekonomian para pedagang yang sebelumnya berjualan
dipesisir pantai teluk palu.Pelaku UMKM yang mendirikan lapak di area itu
merupakan pelaku UMKM disepanjang pantai talise sebelum bencana alam tsunami
pada 28 september 2018 lalu, pemilihan area Hutan Kota sebagai lokasi pusat
UMKM merupakan instruksi wali kota palu sebagai upaya pemulihan perekonomian
para pelaku UMKM dan agar pelaku UMKM lebih tertata sehingga tidak menggnggu
kemanan, ketertiban dan keindahan kota.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka permalalahan penelitian
ini akan dibatasi dalam bentuk pertanyaan dasar yang perlu memperoleh jawaban dari
penelitian tersebut, yaitu antara lain:
1.
Bagamanakah pemberdayaan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku UMKM yang ada
di Hutan Kota Kaombona?
2. Apa
saja faktor pendukung dan hambatan dalam pemberdayaan masyarakat dalam hal ini pelaku
UMKM yang ada di Hutan Kota Kaombona?
3. Apa
saja manfaat yang didapatkan oleh pelaku UMKM yang ada di Hutan Kota Kaombana
setelah adanya peberdayaan?
1.3 Tinjauan Pustaka
1.
Konsep Tentang Implementasi
Hinggis (1985) dalam Harbani Pasolong (2011:57)
mendefinisikan implementasi sebagai rangkuman dari berbagai kegiatan yang
didalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya lain untuk mencapai
sasaran strategi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua yang
diterbitkan oleh Dapartemen Pendidikan dan kebudayaan (1991) ditegaskan arti
implementasi atau Im. Ple. Men. Ta. Si. Sebagai ; pelaksanaan atau penerapan.
Sedang secara Etimologis, Implementasi mengandung arti sebagairealisai atau
tindak lanjut dari suatu pelaksanaan yang mencakup perihal perbuatan dan usaha
tertentu.Implementasi dalam arti harfiah adalah pelaksanaan. Untuk lebih
jelasnya, implementasi dapat diartikan sebagai suatu usaha atau kegiatan
berkesimbungan yang dilakukan untuk mewujudkan rencana atau program menjadi
kenyataan. Bernardine R. Wijaya & Susilo Supardo dalam Harbani Pasolog
(2011:57) mengatakan bahww implementasi adalah proses mentransformasikan suatu
rencana ke dalam praktek. Secara garis besar implementasi dapat diartikan sebagai
setiap kegiatan yang dilakukan menurut rencana untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sedangkan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Solichin
A.W (2005 : 65), mengatakan bahwa memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan focus perhariaan
implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara, yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak
nyata pada masyarakatatau kejadian-kejadian.
Orang sering beranggapan bahwa implementasi hanya merupakan
pelaksanaan dari apa yang telah di putuskan legislative atau cara pengambilan
keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam
kenyataan dapat dilihat sendiri bahwa betapapun baiknya rencana yang telah
dibuat tetapi tidak ada gunanya apa bila itu tidak dilaksanakan dengan baik dan
benar. Ia membutuhkan pelaksana yag benar-benar jujur, untuk menghasilkan
rambu-rambu pemerintahan yang berlaku.
Gordon (1986) dalam Harbani Pasolong ( 2011:58) mengatakan
implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi
program. Selanjutnya Van Meter dan Van Hom dalam Solichin A.W (2005:65),
kemudian memberikan pengertian tentang implementasi yaitu : “tindakan-tindakan
yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.
Pressman
dan Wildavsky dalam Solichin A.W (2005:65) “menyatakan bahwa sebuah kata kerja
mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda
kebijaksanaan”.Sehingga bagi kedua pelopor study implementasi ini maka proses
untuk melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yangseksama dan oleh
sebab itu adalah keliru kalau kita mengganggap bahwa proses tersebut dengan
sendirinya akan berlangsung mulus.Oleh sebab itu Solichin A.W (2005 : 59) mengatakan
bahwa “Tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan
aspek penting dari seluruh proses kebijakan”. Lebih jauh lagi Solichin A.W
(2005 : 102) kemudian mengidantifikasi faktor-faktor yabg mempengaruhi dalam
suatu proses implementasi, berupa :
1.Output–output kebijakan (keputusan-keputusan) dari
badan-badan pelaksana.
2.Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan
tersebut.
3.Dampak nyata keputusan-keputusan badan pelaksana.
4.Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut.
Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang, baik berupa
perbaikan-perbaikan mendasar (upaya untuk melaksanakan perbaikan) dalam muatan
atau isinya.
Dalam
implementasi kebijakan terdapat berbagai hambatan. Gow dan Morss dalam Harbani
Pasolong (2011:59) mengungkapkan antara lain
(1) hambatan politik, ekonomi dan lingkungan,
(2) kelemahan institusi,
(3) ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administrasi,
(4) kekurangan dalam bantuan teknis,
(5) Kurangnya desentralisai dan partisipasi,
(6) pengaturan waktu,
(7) system informasi yang kurang mendukung,
(8) perbedaan agenda tujuan antar actor,
(9) dukungan yang berkesimbangan.
2.
Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk
menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering
ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki
tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang
sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL
juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.Sebenarnya istilah kaki
lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan
waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya
menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima
kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, saat
Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh
para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan,
sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya,
seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam
Peraturan Presiden Nomor 125Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataandan
Pemberdayaan Pedagang Kaki LimaPasal 1 ayat(1) dijelaskan bahwa Pedagang Kaki
Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha
perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan
bangunan milik pemerintah danswasta yang bersifat sementara.
Menurut McGee dan Yeung (1977: 66), PKL mempunyai pengertian
yang sama dengan‘hawkers’, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang
menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir
jalan dan trotoar. Senada dengan hal itu, Soedjana (1981)dalam kutipan Hilal
(2013), mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan
jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir jalan, di sekitar
pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran
dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus
tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun
malam hari.
Proses
perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan
kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya
difokuskanuntuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja.
Kondisi
ini yang menyebabkan para PedagangKakiLimaberdagang ditempat-tempat yang tidak
terencana dan tidak difungsikan untuk mereka.Akibatnya mereka selalu menjadi
obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota
berkesan semrawut.
Studi
menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai
status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan
kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban
atau penataan (Bhowmik, 2005 dalam kutipan Effendi, 2005).Di sisi lain, peran
yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima
pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena
tidakberkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka
dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk
darikebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya
dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005 dalam kutipan
Effendi, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin
urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan
barang atau jasa yang tidak dapat disediakan olehoutlet ritelbesar. Disamping
fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin
urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan
cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena
menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan
menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan
jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet,
pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan,
pembangunan dan merusak morfologidan estetika kota.
3. Arah Pembinaan
Dalam
menangani PKLperlu mencari solusi yang baik dan bijaksana, karena pemusnahan
tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat yang memenuhi syarat, sama
saja dengan mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan, yang notabene sumbeer hidup
masyarakat bawah. Sektor ini membutuhkan perhatian yang lebih baik lagi dari
pihak pemerintah. Oleh karena itu, jalan yang terbaik untuk menangani sektorini
adalah melalui pembinaan.Namun pembinan sektor informal ini juga memiliki
dampak negatif dalam kaitannya dengan gejala urbanisasi. Sebab pembinaan yang
menguntungkan sektor informal ini akan memancing orang-orang desa lainnya masuk
ke sektor informal perkotaan. Hal ini akan menambah beban urbanisasi yang
dihadapi kota. Oleh karena itu, program pembinaan sektor informal harus
dijalankan secara terpadu dengan pembinaan perekonomian dan sektor informal di
pedesaan agar pembinaan itu tidak menjadi bumerang bagi maksud baik pembinaan
itu sendiri.
4. Langkah-langkah Pembinaan
Pembinaan
dalam sektor informal bukan hanya menyangkut mereka yang menggeluti bidang PKL,
melainkan juga organ kepemerintahan yang ada di dalam instansi yang terkait
dengan bidang tersebut. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitas program pembinaan
PKL dapat dikelompokkan ke dalam empat pendekatan yaitu:
1. Mendorong
sektor-sektor yang ada menjadi formal. PKL diorientasikan nantinya dapat
mendirikan toko-toko yang permanent. Untuk itu tentu diperlukan dukungan moral
dan latihan manajerial serta pengetahuan teknis. Pendirian toko-toko yang
permanent tentunya didirikan pada tempat-tempat yang memang khusus untuk
menampung pedagang-pedagang formal. Misalnya, pasar, pusat-pusat perbelanjaan
modern, dan lain-lain. Dengan demikian penempatan mereka harus dibekali dengan
penyuluhan-penyuluhan yang berkaitanb dengan bidang usahanya masing-masing.
Setelah mendapatkan bimbingan dan binaan, dalam jangka waktu tertentu
diharapkan usaha PKL menjadi lebih maju dan bersedia serta mampu untuk pindah
ke pasar-pasar atau toko-toko sesuai dengan jenis barang dagangannya.
Peningkatan ini disamping meningkatkan kemampuan dan penghasilan tenaga yang
bersangkutan, juga cenderung untuk menambah kesempatan kerja dan lebih mudah
dicatat sebagai wajib pajak.
2. Meningkatkan
kemampuan dalam usaha sektor informal. PKL dapat dibantu melalui penyediaan
bahan baku atau membantu kelancaran pemasaran.Selain itu, untuk menambah
kebersihan dan kecantikan wilayah PKL, pemerintah dapat membantu dengan memberi
gerobak supaya seragam atau pemerintah hanya memberi petunjuk alat peraga
(rombong bagi PKL) dengan bentuk, ukuran dan ciri khas lainnya. Selain itu,
untuk meningkatkan kemampuan dalam usaha PKL hendaknya sewa lokasi atau
pungutan uang harus benarbenar menciptakan keadilan untuk masing-masing PKL.
3. Dilakukan
relokasi yaitu penempatanpara PKL di lokasi baru. Penempatan PKL di lokasi yang
baru ini dianggap penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian
sosial misalnya kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor
konsumen dan kemampuan penyesuaian lokasi baru bagi yang berusaha di sektor
petugas, akan tetapi di pihak lain yang tidak kalah pentingnya adalah
konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.
4. Dalam
penanganan usaha sektor informal adalah mengalihkan usaha yang sama sekali
tidak mempunyai prospek ke bidang usaha lain. Pendekatan ini bagi PKL, tidak
sepenuhnya sesuai karena yang diharapkan oleh PKL biasanya bukan pengalihan
usaha atau penggantian bidang usaha melainkan peningkatan usaha mereka. Bidang
usaha PKL ini dipandang masih mempunyai prospek untuk lebih maju.Dari uraian
diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa aktivitas-aktivitas program
pembinaan PKL dapat dilakukan dengan mendorong sektor informal menjadi formal,
meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal serta menyediakan lokasi
baru bagi para PKL pasca penertiban PKL, dengan tetap memperhatikan kondisi dan
potensi PKL.
1.4 Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif-deskriptif. Untuk mendapatkan
narasumber yang tepat dan sesuai tujuan, teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini menggunakan sistem purposive sample. Pengumpulan data dilakukan
dengan meggunakanteknik wawancara, dokumentasi, dan observasi.
Validitas
ini didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari sudut
pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum.Triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Terdapat 3 (tiga) teknik triangulasi yaitu triangulasi sumber, triangulasi
teknik pengumpulan data dan waktu. Di dalam penelitian ini triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang
dilakukandengan cara mengumpulkan data dengan teknik yang sama melalui sumber
yang berbeda-beda.
1.5 Teori implementasi kajian Edward III
Deskripsi Teori1.Implementasi Kebijakan Publika.KonsepImplementasi:Implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan
publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam
bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati
dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model
tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen
sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang kemudian
diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatan-kegiatan,
baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasamapemerintah
dengan masyarakat. Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno,2008:146-147)
mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam
keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini
mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam
rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.Adapun
makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979)
sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan
bahwa:Implementasiadalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau
diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan
suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau
sasaran-sasaran kebijakan itu sendiri.
1)
Teori George C. Edward
Edward III (dalam Subarsono, 2011: 90-92)berpandangan bahwa implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
a) Komunikasi, yaitu keberhasilan
implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus
dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi
distorsi implementasi.
b) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan
telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan
efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya
kompetensi implementor dan sumber daya finansial.
c) Disposisi, adalah watak dan
karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran,
sifatdemokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka
implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif.
d) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi
yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard
Operating Procedure(SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas
organisasi tidak fleksibel.
Menurut pandangan Edwards (dalam
Budi Winarno, 2008: 181)
sumber-sumber yang penting meliputi, staff yang memadai
serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,
wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukanuntuk menerjemahkan usul-usul
di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
Struktur Birokrasi menurut Edwards (dalam Budi Winarno,
2008: 203) terdapat dua karakteristik utama, yakni Standard Operating
Procedures (SOP) dan Fragmentasi:
SOP atau prosedur-prosedur kerja
ukuran-ukuran dasar berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas
dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam
bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Sedangkan
fragmentasi berasal dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti
komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan pejabat-pejabat
eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi
birokrasi pemerintah.
Comments
Post a Comment